Putihnya Hitam
Tepat satu tahun Devan meninggalkan Indonesia. Hubungan jarak jauh harus dialaminya, sesuai dengan lama studinya sebagai pertukaran mahasiswa di Amerika. Kini sudah waktunya Devan kembali ke Indonesia. 23 September 2019.
Empat musim telah Devan lalui, negeri Paman Sam benar-benar mengubah kepribadian Devan menjadi lebih dewasa, ia belajar banyak hal disana. Gugur, dingin, semi dan panas terasa haru disetiap musimnya. Sementara...Firga harus memupuk rindu selama 365 hari, menanti Devan kembali dalam dekapannya.
"Bangun nak, sudah pukul 7...hari ini kamu ada kelas Prof.Adi", teriak Ibu Firga
Firga beranjak dari tempat tidur, bibirnya terlihat sedikit kering. Ia mengusap layar hp memastikan hari ini tanggal 23.
"Sarapan kamu sudah siap nak, buruan mandi", kata Ibu Firga, setelah membuka pintu kamar.
"Panas kamu sudah turun?"
"Sedikit", jawab Firga.
"Mama akan telpon asisten Prof.Adi, kalau kamu gak bisa masuk kelas hari ini"
"Aku bisa kok mah, hari ini aku juga harus ke Bandara"
"Mama hampir lupa, 23 ya? Mama masak apa ya buat Devan"
"Harusnya, dia sudah transit sekarang. Tapi belum dibalas"
"Yaudah, kamu mandi dulu sana...siap-siap ke kampus"
Jam menunjukkan pukul 08.30. Namun Prof.Adi belum ada di dalam kelas. Terlihat beberapa teman Firga menghampirinya, menanyakan kabar Devan yang hari ini akan sampai di Indonesia. Devan cukup terkenal di jurusan ini, bagaimana tidak? Prestasinya cukup luar biasa mendapatkan beasiswa pertukaran pelajar selama satu tahun di salah satu universitas ternama di Amerika Serikat. Firga hanya menjawab dengan sedikit senyum, sambil sesekali menghela nafas yang panjang. Mika yang duduk disamping Firga tidak henti-hentinya menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan teman mereka tentang Devan. Prof.Adi tiba-tiba datang seperti biasanya, dengan tas kulit berwarna coklat. Ia mengucapkan permohonan maaf, karena terlambat memulai kelas, karena ada rapat mendadak pagi ini di bagian akademik jurusan.
"Mik nanti pakai mobil kamu aja ke bandara", kata Firga
"Tenang aja Fir, aku mana mau biarin kamu bawa mobil sendiri", kata Mika. Sambil mengulurkan tisu ke Firga, terlihat wajahnya sedikit berkeringat.
...
"Devan landing-nya jam berapa?", tanya Mika
"Di tiket dia sih, pukul empat sore Mik, gak tau kalau delay", kata Firga
Setelah kelas hari ini selesai, mereka berdua bergegas ke bandara. Firga telah dihubungi terlebih dahulu oleh orang tua Devan, meminta Firga untuk datang lebih awal. Namun, Firga terlihat sangat pucat selama perjalanan, wajahnya sangat berkeringat. Mika cukup panik, apalagi cuman mereka berdua di dalam mobil. Mika berniat menepi dipinggir jalan, namun Firga terlihat sudah tidak sadar. Akhirnya Mika, memutar balik arah dan membawa Firga ke rumah sakit, selama perjalanan Mika berusaha menelpon Ibu Firga, namun tidak sekalipun diangkat.
Sesampai di rumah sakit, dokter Intan selaku dokter pribadi Firga langsung menanganinya dengan sigap. Mika hanya berpesan kepada dokter bahwa Firga tiba-tiba tidak sadar diri, pihak rumah sakit juga berusaha menghubungi Ibu Firga, namun tidak kunjung diangkat.
Mika terlihat sangat khawatir, ia mengingat kejadian delapan bulan lalu, ketika Firga pertama kali tidak sadarkan diri dan dibawa ke rumah sakit. Waktu itu, Firga hanya demam namun kadang mengiggil di malam hari, dan sedikit pusing. Mika duduk diruang tunggu sambil mengusap mukanya dengan kedua tangan. Ibu Firga kemudian datang dan langsung menanyakan kabar anaknya kepada Mika. Mika hanya menjawab seadanya, bibirnya terlihat kaku. Ibu Firga cukup tegar melalui semua ini, ia berusaha menenangkan Mika, lalu memeluknya.
Tiba-tiba hp Firga berbunyi...
"Firga kamu dimana nak?"
"Mohon maaf tante, ini saya Mika. Kami masih di kampus"
"Gak jadi ke bandara?"
"Iya tante, masih ada urusan di kampus"
"Kalau begitu, nanti tante sampaikan ke Devan, kalau Firga tidak sempat datang"
"Mohon maaf ya tante, Firga lagi memimpin presentasi jadi saya yang angkat"
"Gapapa nak, kata Devan besok malam dia akan ke rumah Firga"
"Nanti saya sampaikan tante..."
Semuanya diselimuti dengan kebohongan. Firga, Mika bahkan Ibu Firga tidak berani berkata jujur kepada mereka, mengenai kondisi Firga saat ini. Dokter Intan keluar dari ruangan pasien. Firga telah sadar, ia berpesan agar Firga tidak beraktivitas terlalu berat untuk saat ini dan tidak telat makan obat. Firga dapat kembali ke rumah beristirahat, dan dokter intan akan menjadwalkan pengobatan rutin kembali untuk beberapa pekan kedepan.
Suara bel rumah Firga berbunyi. Ibu Firga segera membuka pintu. Ternyata Devan datang dengan membawa sebuah kotak berwarna merah, dengan pita diatasnya. Mereka saling bersalaman. Firga dengan segera menuju ruang tamu dan menyapa Devan. Firga terlihat sedikit berbeda malam ini, raut wajahnya menunjukkan perasaan yang sangat bahagia. Sosok yang ia nantikan selama ini telah ada didepan matanya. Setelah makan malam dan berbincang sedikit dengan Ibu Firga. Devan meminta izin untuk membawa Firga mencari udara malam.
"Kamu malas makan ya?", tanya Devan sambil menyetir mobil
"Aku lagi diet", jawab Firga
"Seriously...haha"
"Gimana kuliahnya?", tanya Firga
"Lancar, semuanya sesuai yang aku rencanakan"
"Kamu bagaimana, semester lima dan enam?", tanya Devan
"Cukup berantakan"
"Kenapa?"
"Ya gak teratur aja"
"Karena gak ada aku?", tanya Devan
"Salah satunya...tapi semester tujuh ini, aku janji udah gak berantakan lagi"
"Don't give up okay?", kata Devan
. . .
"Aku pernah nangis untukmu Dev, hanya karena rindu", tukas Firga
"Rindu kamu berharga Fir", kata Devan dengan sedikit senyum
"Bagaimana rasanya sudah kembali ke Indonesia?"
"Senang, aku sudah bisa bertemu dengan orang-orang yang aku rindui"
"Salah satunya?", tanya Firga
"Orang yang nangis karena rindu dengan ku"
Firga terlihat cukup bahagia malam itu. Matanya sangat menggambarkan perasaannya, malam itu berlangsung cukup panjang, mereka saling bersenda gurau, sambil mengingat masa mereka berdua sebelum Devan berangkat ke Amerika.
"Sebenarnya, aku ditawarin buat lanjutin studi disana?"
"lalu, kenapa ditolak?"
Devan hanya terdiam, sambil menaikkan kedua alisnya dan sesekali menggigit bibirnya
"Bukannya, itu impian kamu Dev dapat gelar dari universitas luar negeri", tanya Firga
"Hanya saja, bukan waktu yang tepat, lagipula waktu ku disana juga sudah habis"
"Kamu ingat gak, satu hari sebelum kamu berangkat ke Amerika, kamu janji ke aku...", kata Firga
"Aku janji akan kembali untuk kamu, karena sukses bukan hanya ditangan kamu, atau ditanganku (Devan memegang tangan Firga), tapi sukses ada di tangan kita", kata Devan cukup lugas.
...
Firga sedikit tersenyum, matanya tertuju hanya pada satu arah, ia terlihat mengangguk dan sedikit tertawa. Devan adalah sosok laki-laki yang membuat Firga terasa terjaga di malam hari. Penantian lama akan sebuah pertemuan, tubuh Firga yang dipenuhi dengan kerinduan, terlepas malam ini.
"Lagi sibuk apa sekarang, kamu tadi gak jemput aku di Bandara?", tanya Devan
"Aku ada urusan dengan Mika di kampus"
"Penting banget ya..."
"Sebenarnya..."
"Aku percaya kok, semua orang punya prioritasnya masing-masing", kata Devan
"Bukan berarti aku gak ini Dev"
"Aku paham kok, Mika juga udah bilang presentasinya gak bakal jalan tanpa kamu"
Hanya ada dua hal terlintas dibenak Firga. Pertama, dengan kondisi Firga saat ini, dia takut akan menganggu Devan. Kedua, hubungan ini akan diselimuti dengan kebohongan selamanya. Namun Firga percaya, ia bisa melewati kegelapan ini, dulu ia memandang hidupnya akan hitam. Tetapi, dengan kembalinya Devan akan membuat hidupnya kembali menjadi putih seperti awan.
Kehidupan Firga kembali normal. Devan yang tiap hari menjemputnya, berangkat, berdua, bersama ke kampus. Kini, bukan lagi Devan yang menunggu didepan pagar rumah Firga. Tapi gadis dengan rambut yang sedikit bergelombang ini yang menunggu lima menit lebih awal sebelum Devan sampai. Mereka cukup populer di kampus. Setiap kelas, mereka duduk berdekatan, tidak ada yang bisa menembus pertahanan mereka, bahkan Mika sekalipun.
Selama satu pekan berlalu, Firga dan ibunya datang ke rumah sakit atas perintah dokter Intan untuk melakukan pengobatan rutin...ya kemoterapi setelah hampir vacum selama sebulan, hasil pemeriksaan dokter menemukan bahwa pertumbuhan sel-sel kanker dalam tubuh Firga sudah tidak berkembang terlalu cepat, dan juga ada penurunan dari jumlah sel kanker sebelumnya. Dokter Intan tidak bisa menduga hal ini bisa terjadi, karena kemarin daya tahan tubuh Firga cukup lemah. Selanjutnya dokter Intan akan menjadwalkan ulang kemoterapi rutin untuk Firga.
Suatu hari, Prof.Adi mengumumkan bahwa Devan akan dipindahkan ke kelas internasional di jurusannya. Tentu saja, Devan tidak ingin melewatkan kesempatan emas ini. Berbeda dengan mahasiswa reguler, dari segi fasilitas, tenaga pendidik, dan teman sekelas. Firga tidak punya hak untuk mencekal Devan. Namun, yang bersikeras adalah Mika. Dia tau betul perasaan Firga, selain jadwal kelas internasional lebih padat dari pada kelas reguler, yang pasti Devan dan Firga akan menimbulkan "jarak"...lagi.
"Fir...kok kamu diam aja sih", tukas Mika
"Mulutku diam, tapi otakku berkecamuk Mik"
"Kamu udah bicara dengan Devan?", tanya Mika
"Udah..."
"Terus dianya bilang apa?"
Firga hanya termenung waktu itu, ketika berbicara dengan Devan. Firga hanya mengingat satu hal yang keluar dari mulut Devan "Masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini".
"Loh...gimana-gimana?", kata Mika
"Aku gak bisa berkata apa-apa Mik waktu itu", kata Firga
"Kamu tau kan Devan, jiwa ambisiusnya cukup tinggi, dan aku harus dukung dia", tegas Firga
"Memangnya dia pernah dukung kamu?", tanya Mika angkuh
"Maksud...kamu Mik?", tanya Firga heran
"Ah...hmm...maksud aku..", ucap Mika
"Disaat seperti ini, kamu harusnya support aku, tapi kok...malah pressure aku sih Mik..", kata Firga, lalu meninggalkan Mika sendiri.
Firga mengira hidupnya akan baik-baik saja ketika Devan kembali, namun...angin datang terlalu kencang, tapi ia berharap angin tersebut tidak membuat langitnya menjadi gelap. Bahkan dalam seharipun Firga tidak bisa bertemu dengan Devan, jangankan Devan, Ia tutup mulut depan Mika. Firga berusaha menghindari Mika, namun Mika tidak ingin meninggalkan Firga sendiri di saat kondisinya seperti ini.
Devan sangat menikmati dunianya di kelas internasional. Ia adalah seorang pria yang tidak kenal jarak dapat menimbulkan sakit. Atas rasa sakit dan telah menabung rindu, akhirnya Firga memutuskan untuk mengajak Devan makan siang di kantin kampus. Devan memang tipe cowok yang dingin, berbeda dengan Firga yang cukup agresif.
Disela makan siang, tiba-tiba seseorang datang dari arah belakang Firga, ia sedang memeluk beberapa buku, dengan tas selempang putih, dan juga kacamata mungil, rambutnya terurai lurus. Dia adalah Elma, teman sekelas Devan di kelas internasional.
"Dev...ini buku yang mau kamu pinjam kemarin, aku baru bawa", kata Elma
"Aku butuh banget buku ini dari kemarin, thanks ya Elma", kata Devan
"Oh iya...kelas siang ini mulai 30 menit lebih awal"
...
Tiba-tiba Firga batuk, lalu meninggalkan Devan dan berlari menuju toilet.
"Firga mau kemana?", teriak Devan
"Aku duluan Dev ke kelas..."
"Tunggu Elma, aku ikut", kata Devan
...
Hp Firga berdering!
"Kamu dimana Fir"
"Aku lagi ditoilet Dev"
"Kalau kebelet gak gitu juga Fir,... aku udah mau mulai kelas nih"
"Iya..."
Hari-hari yang ia lewati kini terasa lebih berat. Firga harus melewati beberapa kelas karena harus ke rumah sakit, dia juga membungkam semuanya, di lembar absensi dia tidak sakit. Di sisi lain Mika bersikeras membujuk Firga, namun Firga sudah kehilangan kepercayaan untuk pertama kalinya kepada Mika.
Dan Devan benar-benar tidak bisa dipercaya. Hari-harinya dibarengi dengan Elma, haha iya...terkadang teman sekelas lebih manis daripada kekasih sendiri.
"Fir...menurut gue semester tujuh ini ambil cuti aja Fir", kata Mika
"Jangan bicara padaku!"
"Kamu harus fokus untuk penyembuhan kamu"
"Yang kamu lakukan itu apa? tiap hari kamu laporin ke aku kalau Devan dekat dengan Elma, semua yang kamu lihat Mik", teriak Firga, terlihat pipinya sedikit basah
"Maafin aku Fir, ini demi kamu juga"
"Demi aku? Aku lebih baik gak tau Mik..., kalau kamu nyuruh aku fokus untuk penyembuhan, harusnya kamu gak usah laporin ke aku", tegas Firga
"Maksud aku gak gitu Fir"
"Dan bodohnya...aku percaya sama kamu Mik", kata Firga dengan nada yang cukup tinggi
Firga hanya bisa mengurung diri di kamarnya, ibunya sesekali masuk memberi obat dan makanan. Bahkan Firga tidak ingin datang lagi kemoterapi di rumah sakit, dokter Intan berusaha keras membujuk Firga, begitupun dengan Ibu Firga membujuk anaknya. Kehidupannya nyaris gelap.
"Ibu bukannya memaksa kamu, tapi ini yang harus kamu lakukan, kemarin kamu sudah ada perubahan, kalau kita rutin berobat, ibu yakin kamu bisa sembuh nak"
Firga terdiam, suaranya terdengar menangis. Sangat sakit.
"Mah...kenapa aku harus merasakan dua sakit sekaligus?", kata Firga suaranya sedikit tertekan
"Kalau menurut Firga punya rasa sakit lebih dari satu, kenapa tidak ingin mengobati salah satunya?!", tegas Ibu Firga
diam...hening...sunyi
...
Sesaat kemudian, dokter intan datang karena Firga sudah mulai sesak, demamnya cukup tinggi, badannya bercucuran keringat. Pada akhirnya Firga dibawa ke rumah sakit. Mika mendengar kabar tersebut dari Ibu Firga, segera bergegas ke rumah sakit. Ibu Firga merasa sangat sedih, karena yang ia miliki saat ini hanyalah Firga seorang diri, ayah dan adik Firga mengalami kecelakaan mobil dan menewaskan mereka berdua.
Tubuh Firga saat ini masih bisa berkompromi dengan sel-sel kanker yang ada ditubuhnya, namun dari hasil pemeriksaan dokter, jumlah sel kanker meningkat. Sehingga Firga harus dirawat dirumah sakit. Ibu Firga memutuskan membuat surat kepada pihak kampus, bahwa Firga akan melakukan perjalanan luar negeri. Bahkan rumah mereka dikosongkan. Mika harus tutup mulut mulai dari sekarang.
"Mah, aku salah", ucap Firga sambil memegang tangan ibunya
"Aku pernah berharap pada seseorang yang sebenarnya tidak pernah memberi harapan", kata Firga
"Tidak nak, kamu hanya perlu paham bagaimana dunia ini bekerja", ucap Ibu Firga
Firga termenung, sambil sedikit menelan...
"Kamu tidak bisa melangkah jauh kedalam diri seseorang, sedangkan kamu berada diluar diri kamu sendiri", ucap Ibu Firga
Tiba-tiba Mika masuk...
"Mika, temani Firga, Ibu mau ke ruangan dokter Intan"
Tiba-tiba Mika memeluk Firga...
"Aku mohon, jangan sampai Devan tau", ucap Firga
"Banyak orang yang gak bener-bener bahagia di sekeliling kamu, termasuk aku, termasuk kamu juga Fir", kata Mika
"Selama ini, aku merasa kesepian, satu tahun aku menunggu Devan dan ini yang aku dapatkan", kata Firga dengan suara sedikit tertahan, dan Mika terdiam.
Hari-hari berlalu, belum ada tanda-tanda Devan mencari Firga. Bahkan pikiran kotor Firga beranggapan "Ada yang pura-pura menjadi sibuk agar dapat menghindari seseorang". Firga benar-benar tidak sehat.
Lalu, Mika bersikap seperti tidak ada yang terjadi. Namun, beberapa teman mereka penasaran, Firga ada urusan apa ke luar negeri. Surat izin tersebut terdengar sampai ditelinga Devan.
"Komunikasi itu penting, kamu bahkan tidak...", Devan tiba-tiba memotong ucapan Mika
"Hp dia tidak aktif, dia ganti nomor sebelum ke luar negeri? kemana UK? Rusia? Australia? atau Amerika?", kata Devan dengan nada tinggi
Mika mengalihkan pandangannya, sambil menghela nafas
"Jawab Mika...", tegas Devan
"Elma bagaimana?", tukas Mika
...Devan terdiam
"Bukan urusan kamu! cepat katakan Firga ke negara mana? bahkan ibunya tidak bisa dihubungi", tegas Devan
"Kamu pikir selama ini apa?", ucap Mika
"Maksud kamu?"
Mika meninggalkan Devan di taman tengah kampus. Devan tidak habis pikir, bahwa Firga bisa melangkah jauh. Devan akhir-akhir ini, mengunjungi pusat imigrasi, meminta mereka apakah ada seseorang yang bernama Firga Aurellia membuat pasport dan melakukan perjalanan luar negeri selama sebulan terakhir. Pasport atas nama Firga Aurellia sudah pernah dibuat 5 tahun yang lalu, tapi tidak ada catatan bahwa dia sedang diluar negeri.
Setelah kelas berakhir sore itu, Mika berangat ke rumah sakit, namun Devan mengikuti Mika secara diam-diam. Devan melihat Mika berhenti di suatu rumah sakit. Ia mengikuti Mika ke gedung pusat perawatan kanker, Devan sesekali mengerutkan kening. Yang benar saja, Mika ke tempat ini. Setelah ia melihat Mika masuk ke ruangan pasien, Devan melihat dibalik kaca pintu kamar, disana ada Firga terbaring lemah dengan saluran bantuan pernapasan terpasang di hidungnya. Firga meminta Mika untuk membawanya menghirup udara segar. Mika dengan segera membantu Firga duduk di kursi roda. Devan dengan sigap lari bersembunyi. Devan mengikuti mereka keluar ke sebuah taman, tepatnya disamping rumah sakit.
Devan berdiri tepat diseberang taman, kedua tangannya bersembunyi di kantung celananya, matanya tertuju pada Firga. Mika tiba-tiba melihat Devan berdiri disana. Ia dengan segera mendekati Devan.
"Kamu kok bisa tau?", tanya Mika
Devan melewati Mika sambil berkata "Jangan mendekat"
...
"Fir...kamu baik-baik saja kan?", tanya Devan
"Setelah sekian lama, akhirnya kamu bertanya Dev", kata Firga matanya tertuju pada satu titik
"Aku minta maaf selama ini", kata Devan
"Kamu terlalu cepat minta maaf...", celetuk Firga sambil sedikit tertawa
"Maafin aku Firga...", ucap Devan sedikit tertekan
"Haha lucu ya...terlalu banyak orang meminta maaf hanya untuk mengulanginya lagi, setelah beberapa bulan kamu di Amerika, kamu tidak pernah mengabariku, dan sekarang, ketika kita berada di bawah langit yang sama, kamu bahkan tidak pernah mengabariku, lalu kamu meminta maaf untuk kesekian kalinya...Bagus Dev"
...
"Aku yang salah selama ini", kata Devan
"Kamu tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri", tegas Firga
"Kamu baik-baik saja kan?"
"Aku kira kamu bisa tau sendiri keadaanku"
"Aku minta maaf Firga..."
"Ketika kamu menganggapku sedang baik-baik saja, saat itulah kamu bersikap bodoh Devan", tegas Firga
"Aku memang bodoh, membiarkanmu begitu saja, tapi..."
Firga menggerakan kursi rodanya, dan memutar balik masuk ke dalam rumah sakit. Mika dengan segera berlari mengejar Firga. Devan meneteskan air mata. Serasa semuanya hampa. Devan menuju kamar Firga, terlihat di depan pintu kamar tersebut ada Mika yang sedang berdiri. Didalam telah ada Ibu Firga berusaha menenangkan anaknya. Mika diminta melarang Devan untuk masuk menemui Firga.
Firga meminta dokter Intan untuk memindahkannya ke rumah sakit lain dan mencarikan dokter baru. Akhirnya Firga pindah ke rumah sakit pusat kanker lain. Devan berusaha mencari keberadaan Firga, namun hasilnya nihil. Mika menutup mulut, dan berusaha menghindari Devan agar ia tidak kembali ceroboh seperti kejadian kemarin.
22 Desember 2019. Mika sedang mengikuti kelas pagi ini. Ia mendapat telepon dari Ibu Firga. Mika dengan segera menarik tasnya dan berlari meninggalkan kelas. Mika terlihat berlari melewati kelas Devan, dan langsung menuju ke rumah sakit. Firga dengan segera diberangkatkan ke Singapura untuk menjalani pengobatan, kini ia pada masa kritis dan serius yaitu stadium empat. Mika hanya bisa bertemu beberapa detik dengan Firga, dan Firga berpesan kepada Mika"Pastikan kamu bisa bertemu dengan Devan secepatnya".
Mulutnya terlihat kaku, semua anggota tubuhnya terlihat lemas, matanya terlihat sayu dan napasnya terlihat lambat. Kini, ia berada di langit yang berbeda dengan Devan. Sesaat sebelum Mika dalam perjalanan menuju kampus untuk menemui Devan, ia tidak bisa membendung air matanya. Firga kini telah tiada sesampainya di Singapura seakan-akan menjadi hadiah terburuk di hari ibu. Mika menepikan mobinya di bahu jalan mendengar kabar sahabatnya dari telepon Ibu Firga, ia memukul stir mobil berulang kali, suara tangisannya sangat dalam. Setelah beberapa menit, Mika melanjutkan perjalanannya menuju kampus. Dan Firga melanjutkan perjalanannya ke kamar jenasah di salah satu rumah sakit di Singapura.
Mika tiba di parkiran kampus, ia melihat Devan sedang menyebrang jalan, ia membunyikan klakson, Mika lalu turun dan berdiri di depan Devan. Tangis, sakit, perih ada dalam diri Mika. Devan hanya memandangi Mika sambil berjalan mendekatinya. Tangan Mika mengulurkan selembar kertas kepada Devan.
Devan, jika kamu telah menerima surat ini, berarti aku telah tersimpan kekal di dalam hatimu. Terima kasih atas segala kehangatan selama ini. Kamu dingin dan aku panas. Iya...karena aku sakit. enam bulan sebelum kamu berangkat ke Amerika, aku di diagnosis menderita kanker darah. Sejak saat itu aku telah putus harapan, tapi Ibu selalu menyemangatiku dan aku punya kamu Dev. Waktu itu sel-sel kanker yang tumbuh didalam tubuhku dapat dikendalikan pertumbuhannya. Terkadang aku merasa segar ketika berada di sisimu, namun sejak kepergianmu ke Amerika, saat itulah aku merasakan sakit yang luar biasa. Tidak hanya satu, namun dua rasa sakit. Ibuku berusaha membantuku untuk menyembuhkan salah satunya, dan jawaban yang pertama adalah kanker ini, dan jawaban kedua akan sembuh ketika kamu telah kembali setelah 365 hari berada di Amerika Serikat. Sejak kamu meninggalkanku, aku hanya berpesan "semoga semesta menyatukan dalam sebaik-baik ikatan". Aku terkadang heran, rasa sakit ini semakin ganas ketika aku tidak mendengar tentang dirimu selama disana, begitupun selama disini. Aku berusaha untuk menegarkan diri, Ibuku berkata "kamu tidak perlu melangkah masuk lebih jauh ke dalam diri seseorang, sedangkan kamu berada di luar dirimu sendiri", bahkan ia tahu bahwa aku tidak paham bagaimana dunia ini bekerja.
" I LOVE YOU, BUT I FEEL LONELY.
I LOVE YOU, BUT I HATE MYSELF".
Aku salah selama ini, hatiku terlalu besar untuk menyalahkan takdir. Sesaat aku berpikir, jika daun yang jatuh, tak pernah membenci angin, kenapa manusia yang putus asa, selalu menyalahkan takdir. Aku paling ingat kata Ibuku, "suatu hari kamu akan menjadi alasan seseorang menetap", namun Ibuku salah, seharusnya dia mengucapkan itu bukan ke aku, tapi ke kamu. Aku telah pergi Devan, aku akan kekal menetap di hatimu. Dulu aku menganggap langitku akan putih, namun langitku ditakdirkan mendung, hitam, gelap dan suram setelah kepergianmu ke Amerika. Sejak kamu kembali langitku kembali cerah, putih, bersinar, namun takdirku kembali membuat angin yang kencang, hingga akhirnya langitku menjadi mendung, tapi aku tidak ingin membuat hujan, kamu jangan menangis. Aku disini tidak menangis sedikitpun. Kamu perlu tahu Dev "fase mencintai tertinggi adalah kehilangan" aku yakin kamu akan mengalami hal ini tapi aku yakin pula kamu bisa melewatinya. Dulu aku percaya, kamu dikirim Tuhan untuk melengkapiku, Tuhan sangat baik. Namun aku tidak bisa melengkapimu Dev. Setiap hari aku merasa sakit, namun suatu hari pula aku yakin kamu bisa menjadi obatku untuk sembuh, namun perlahan kamu menjauh, hilang, dan pergi. Aku tau kamu mengalami rasa sakit juga. Semua rasa sakit di bumi itu sama, cuman beda raga saja. Gapapa, nanti lama-lama juga gak sakit lagi. Kamu ingatkan "Masa depan adalah milik mereka yang menyiapkan hari ini". Tapi kamu harus paham, bahwa masa depan bukan hanya tentang kamu maupun aku tapi tentang Kita.
Don't give up! okay?
on us?
No, on your dreams, even without me
-Firga Aurellia.